Sepuluh tahun yang lalu Fira berdiri di sini dengan pandangan kosong
menatap teman-temannya yang berisik berceloteh dengan teman lainnya, sedangkan
ia, hanya berdiri diam. Sedikit ada rasa malu saat itu, hampir setiap hari apa
yang ia lakukan selalu sama. Berdiri di depan gerbang SD sedirian tak tahu apa
yang ditunggu. Tapi suatu hari ada sebuah keajaiban menghampirinya sepulang
sekolah.
“Rumahmu mana?” seorang gadis dari kelas 5C yang sering ia lihat di
balkon bertanya.
“Blok D.” Jawab Fira singkat kala itu.
“Aku di Blok F, ayo jalan bareng!”
Tanpa berpikir, Fira mangikuti langkah teman barunya untuk yang pertama
kali. Lalu berlanjutlah adegan adegan yang sama di setiap harinya. Fira
menunggu Rachma di depan gerbang untuk pulang bersama. Begitulah awal
persahabatan itu tercipta.
Lalu sekarang ia kembali berdiri di sana menunggu seseorang untuk datang
sambil menyanyikan lagu persahabatannya,
Senin Aku menunggu
Selasa akupun
masih menunggu
Untuk melihat apa kau baik-baik
saja
Rabu kau masih tak disini
Tidak peduli pagi ini atau nanti
Kamis juga masih kosong
Jumat, Sabtu atau Minggu
Setiap hari aku ridukan dirimu
Tidak seharipun
kau kembali seperti hari yang lalu
Meskipun ia tahu, orang itu tak akan datang kesana. Karena sekarang
gilirannya menghampiri Rachma. Sahabat kecilnya yang setia mengirim pesan,
setia memberi motivasi di hari Sabtu. Ia merindukannya. Takkan terobati kalau
hanya berbincang lewat telpon atau sms. Tak akan terobati sebelum keduanya
bertemu. Tapi jeruji sudah mengungkung keduanya dalam sangkar pekerjaan
masing-masing. Kuliah dulu, keduanya masih sering bertemu, dan yang terakhir
adalah dua tahun lalu.
“Triiitttt….” Suara HP Fira berbunyi, sebuah e-mail masuk dari orang yang
dinantinya. Ia segera pulang dan membukanya.
Surat balasan.
“Dear, Meskipun bos tak mengerjakan
apapun, dia supervisormu, anggap saja ini sebuah keuntungan bagimu. Kenapa?
Karena kamu jadi belajar mandiri, bagaimana menyelesaikan proyek yang urgent
itu tepat waktu. Dan kamu jadi lebih paham proyek itu daripara atasanmu sendiri.
Anggaplah itu sebagai batu loncatan untuk menunjukkan pada manager bahwa kau
pantas di promosikan. Tapi, Jangan tanyakan apa yang bisa diberikan oleh negara
padamu, tapi tanyakan apa yang bisa kau berikan kepada negaramu [1] Percayalah,
Allah memang tidak memberi apa yang kita inginkan, tapi Allah member apa yang
kita butuhkan.”
Satu-satunya yang aneh dari e-mail itu adalah kata-katanya. “Aku jelas
paham bagaimana bentuk dan olahan bahasanya, ini bukan e-mail balasan darinya.
Dia tak pernah memanggilku dear, pasti ia memanggilku Cableng.” Gumam Fira. Ia
mengambil HP nya dan menelpon Rachma. Tapi sayang, panggilannya selalu
dialihkan. Ia menelpon nomor rumah Rachma dan dijawab Ibunya.
“Rachma beberapa minggu ini sakit-sakitan. Sekarang dirumah sakit. Maaf,
tadi tante yang balas E-mailnya, sebenarnya sejak 2 minggu yang lalu tante yang
balas, Fir.”
“Dua minggu yang lalu?” dan baru
hari ini aku sadar? Batinnya.
“Iya, maaf ya, dia yang meminta tante. Dia tak ingin membuatmu
khawatir….”
“Oh, gak papa tante. Dirumah sakit mana?”
“RSKUA”
Fira tak ingat apapun kecuali satuhal ketika tahu Rachma sakit. Masa awal
kuliah ketika di Kos tak ada orang karena weekend teman-teman kos Fira pulang
kampung, tipusnya kambuh dan tak ada yang merawatnya. Saat itu, ia merasa tak
mampu melindungi dirinya sendiri. Ia hanya mampu menangisi keadaannya yang
memburuk. Ia tak bisa menghubungi dokter maupun ibu kos yang di rumah sebelah.
Namun, hanya karena feeling, Rachma berangkat dari Surabaya ke Jogja untuk
menemui Fira dan menemukan Fira di kamar dengan wajah pucat dan tak sadar.
Dipanggilnya seorang dokter dan meminta obat.
Fira sangat ingat senyum Rachma ketika mengompres dahinya dengan air
panas jam 1 malam dan membelikan bubur ayam pagi-pagi. 3 hari ia korbankan
kuliahnya untuk merawat Fira di kamar.
“Aku akan disini bersamamu sampai besok dan besoknya lagi dan lagi dan
lagi hingga kita bisa berjalan bersama, mengubah dunia seperti mimpi kita.”
Ia memang setengah sadar saat itu, tapi ia tahu betul sebelum mengganti
kompresnya Rachma selalu shalat tahajud dan berdo’a di sujud terakhirnya. Satu
malam terakhir Fira mendengar do’anya,
‘Ya Allah, sembuhkan Fira. Berilah dia nikmat sehatmu setiap hari,
sembuhkanlah ia besok pagi agar tercapai cita-cita kecilnya. Jangan kau beri
dia sakit sedangkan kau tak pernah memberikannya pada hamba. Biarkanlah kami
berjalan bersama seperti biasanya. Amin.’
Paginya, aku benar-benar melihat keajaiban, aku sudah bisa berbicara
banyak dengannya dan menonton film bareng dengannya meskipun perutku masih
sakit. Ia membelikanku sarapan tiap pagi, makan siang dan makan malam. Aku
menyuruhnya untuk kembali ke Surabaya, tapi ia enggan. Ia tak percaya pada
teman-teman kosku akan merawatku se ekslusif ia merawatku.
Hari terakhir sebelum ia pulang hari Rabu itu, ia bilang, “Aku ingin kau
merawatku seperti aku merawatmu ketika aku sakit.”
“For God Sake! Aku takkan
memaafkan diriku jika ia benar-benar menderita selama dua minggu sedangkan aku
tak ada untuk merawatnya.” Gumamnya dalam perjalanan ke Terminal Tiket. Tak
peduli dengan pekerjaan dan apapun, aku
akan menepati janjiku, Ma!
“Mbak, tiket pesawat ke Surabaya hari ini masih?”
“Masih, untuk nanti jam berapa?”
“Secepatnya mbak.”
“Take off jam 12.34? atau jam
14.15?”
“Jam 12.34!” ucapnya tegas. Tunggu
aku, Ma. Aku segera datang.
Fira langsung menuju Airport dan menunjukkan tiketnya. Tapi keberangkatan
pesawat delay hampir dua jam. Ia menunggu dengan cemas di sudut ruang tunggu
sambil menyanyikan lagu persahabatan mereka,
…..
Di hari aku bertemu denganmu
Hari dimana aku ingin dekat
denganmu
Hari dimana kita saling
bepegangan tangan
Hari dimana aku mencintaimu
Hari dimana aku bicara denganmu
Hari dimana kau mendengarkanku
Berapa lama lagi akan begini?
Aku tidak tahu
Berapa banyak bulan atau tahun?
Berapa jutaan memori masa lalu?
Aku selalu merindukanmu.
Aku akan menepati janjiku,
tunggulah aku!
Setelah landing Fira langsung
mencari taksi dan memintanya menuju RSKUA Jogja. Tapi sampai di daerah antah
berantah yang tak ia tahu namanya, dimana tak ada tak ada taksi maupun bus
lewat, tiba-tiba taksi berhenti.
“Mbak, kalo panjenengan mau saya antar sampai RSKUA bayar 250 ribu. Tapi
kalo panjenengan gak mau, silakan turun dan tunggu di kuburan itu sampai ada
taksi kosong lewat!”
Jantung Fira langsung melaju cepat. Ia tak menyangka malah akan menerima
musibah begituan. Kalau ia bayar, jelas ia tak punya uang lebih untuk pulang
nanti. Tapi kalau tak dituruti, ia bisa mati kaku di atas kuburan orang disana.
Tak ada rumah penduduk, tak ada bus lewat dan hari sebentar lagi gelap. “Wah,
bapak sopir taksi ini benar-benar matre. Gak tahu apa kalau orang yang
berurusan dengan rumah sakit itu mesti lagi butuh banyak duit?” gerutunya dalam
hati.
“Gimana mbak?”
Fira menarik nafas panjang, “Ahahahahh, itu sih gampang pak! Yang penting
antar saya sampai ke RSKUA, teman saya sangat butuh saya.”
Lantas si sopir taksi nyengir dan memicingkan matanya pada Fira.
Fira masih memikirkan bagaimana caranya agar ia tak membayar sebanyak
itu. Ia biasa bayar taksi 40 – 50 ribu sekali jalan di Jogja, seharusnya di
Surabaya tak beda jauh. “Ya Allah, cobaan apalagi ini?”
Sampai di rumah sakit Fira keluar dari taksi dan membayarnya dengan uang
limapuluh ribu.
“Lho, mbak. Mbak bego apa goblog sih? Dua ratus limapuluh ribu! Bukan
limapuluh ribu!!!”
Sengaja Fira keluar supaya tak dikunci didalam taksi dan bisa kabur bila
si sopir mulai berbuat aneh. “Saya biasanya bayar segitu pak, toh di Argo Cuma
37 ribu. Bapak masih untung banyak kan.”
“Pokoknya harus bayar 250 ribu atau…” sopir mulai memanas.
“Atau saya laporkan satpam atas pemerasan?” Fira langsung berbalik dan
lari mencari bagian informasi. Ia masih bisa mendengar Sopir taksi mengeluarkan
segala kata-kata kebun binatang dari mulutnya.
Kamar 1 B, lorong sebelah belok
kiri, lurus dan belok kanan.Aku datang Ma.
“Ini dia. Assalamualaikum.” Fira terhenti di depan pintu. Ia memutar
matanya melihat sekeliling dan melihat kenyataan. Matanya mengernyit dan
meneteskan air mata. Pelukan hangat yang terakhir dilakukannya pada sahabatnya
dua tahun lalu itu kini dirasakannya kembali. Namun, kini tak sehangat pelukan
dan senyum mereka dulu, pelukan ini hanyalah pelukan ringkih dari tulang
berlapis kulit milik Rachma. Fira benar-benar pangling dengan Rachma sekarang.
Hanya senyumnya, senyumnya yang benar-benar sepenuh hati dan ikhlas dari
dalam hatinya, juga lesung pipinya yang memudar. Kulit tipis coklatnya
menyamarkan segala kecantikannya yang tak tertandingi dulu.
“Pie kabare?” tanyaku sambil
menahan tangis melihatnya menahan getaran tangannya yang dipaksa.
“Sae…” ia kembali memberi senyum termanisnya untuk Fira. Tapi, Fira tak
tahan melihat senyumnya, senyum yang bukan miliknya. Senyum yang menggetarkan
hati Fira dan mencacahnya hingga hatinya yang rapuh itu tak menyangka orang
yang selalu mengiriminya e-mail dan sms motivasi ternyata justru lebih
membutuhkan daripadanya. “Akkuu…kangeeenn.” Jeritnya pada Fira.
“Berapa lama lagi akan begini? Aku
tidak tahu. Berapa banyak bulan atau tahun? Berapa jutaan memori masa lalu? Aku
selalu merindukanmu!!! Kau ingat, dulu waktu pertama kali menghampiriku
pertama kali didepan gerbang? Aku menunggumu disana hari ini kemarin dan lusa.”
“Setiap hari aku ridukan dirimu.
Tidak seharipun kau kembali seperti hari yang lalu. Akku menunggumu disini,
menagih janjimu dan bertahan untukmu.” Tangannya bergetar hebat ketika
menunjukku. Ia seperti seorang nenek yang tak mampu lagi menopang berat
tulangnya.
Ibunya menyentuh pundak Fira dan mengajaknya keluar ruangan. Beberapa
kali Fira mengangguk, ia enggan meninggalkan sahabatnya itu.
“Tante pripun kabare?”
“Apik cah ayu. Maaf ya, tante
ndak ngabari kamu sebelumnya.”
“Iya gak papa. Seharusnya saya yang lebih peka sama keadaan. Apa mungkin
saking jahatnya saya yang egois ini. Oh, maaf tadi gak ngabari kalau mau ke
sini.”
“Dia menunggumu, setiap hari ia bertanya apa ada e-mail darimu? Meskipun
ada, dan tante membacakannya tiap hari, ia menyuruh tante membalasnya tanpa memberitahu
keadaannya. Katanya, ia tak ingin membuatmu khawatir. Ia ingin kamu
menyelesaikan tugas-tugas dari bosmu tanpa beban.
“Dia sakit apa?”
“Dia kena leukemia.”
Fira menatap mata ibu Rachma dan lari menuju tempat tidur Rachma. Ia
duduk disampingnya sambil memegangi tangan kurusnya.
“Aku akan disini bersamamu sampai besok dan besoknya lagi dan lagi dan
lagi hingga kita bisa berjalan bersama, mengubah dunia seperti mimpi kita.”
“Janji?”
“Janji!” keduanya mengaitkan kelingking.
Hingga malampun Fira tak melepaskan genggamannya. Ia
hanya meninggalkannya untuk wudhu dan shalat. Lalu ia genggam lagi tangan
sahabatnya, ia menatapnya hingga subuh dan tertidur di sampingnya.
--
“Ah, pagi yang cerah.” Fira berdiri dan membuka tirai
jendela setelah melihat cahaya-cahaya yang menyelinap masuk mengganggu matanya
yang menghitam karena sembab dan kurang tidur.
“Seandainya setiap pagi seindah dan secerah ini, kita
bisa berjalan-jalan keluar dan melihat taman-taman menghijau dengan senangnya. Berjalan
bersamamu adalah kenangan tak terlupakan, berjuta-juta memori yang di otakku
tentangmu takkan pernah hilang. Seberapa jauh langkah yang harus kau tempuh,
aku akan selalu menemanimu. Selalu disampingmu apapun yang terjadi karena kau
dan aku adalah satu tubuh.” Tetesan air mata Fira tak terbendung lagi.
Langkah-langkah suster mendekat dan mulai memasuki
kamar. Mereka mendekati Rachma yang sedang tertidur.
“Mbak, mohon keluar dulu ya…” pinta suster sedikit
memaksa.
Fira mendekati Rachma yang belum bangun saat suster memeriksa.
Ia kembali memegang tangannya. Ada sepucuk surat tebal di tangan kiri, Fira
mengambilnya dan langsung menyimpannya di Jaket. Ia menggenggam tangan Rachma,
“Aku janji akan selalu bersamanya suster. Dia takkan suka kalau aku pergi satu
detik saja dari kamar ini.”
“Ayo mbak keluar dulu. Kami akan berusaha sekuat kami.
Mari keluar.”
“Dia Cuma tertidur! Apa kalian tak lihat? Dia sudah
membaik dan tak demam seperti kemarin!” Fira sedikit teriak.
Dua orang suster menariknya supaya keluar ruangan
sementara dokter memasuki ruang.
“Ayo mbak, sebentar saja.”
“Tapi dia Cuma tertidur! Tadi dia masih mengambil surat
ini ketika aku buka jendela.” Fira mengeluarkan amplop dari jaketnya. “Gak!
Rachma, Rachma…. Tolong aku! Mereka memisahkan kita! Dia mengambilkanku surat
ini dan hanya bilang terimakasih sudah menepati janjiii!!!” Fira memberontak
dan tak ingin keluar. Suster menariknya dengan kasar.
Tante dan Om hanya melihatnya menangis dan memberontak.
“Tante…Om… Rachma…” ia berlutut di kaki tante dan menangis tanpa henti.
Satu dua tiga menit dokter keluar dari kamar Rachma.
Ibu Rachma langsung menghampiri dokter.
“Apapun kenyataannya, kita harus terima itu Fir. Kau
wanita hebat sama sepertinya.”
Fira menangis dalam duduknya. Ia memeluk kedua lututnya
dan menyandarkan kepala diatasnya seolah sudah tahu jawaban dokter. Suara
tangisnyapun mulai menggema dan semakin keras. Suasana pagi yang cerah menjadi
bukti janjinya.
--
Buat Cableng,
Sudahlah,
tujuanmu dari dulu bukanlah menjadi seorang staff yang selalu disuruh-suruh. Lalu
kamu mengerjakan tugas yang seharusnya dilakukan asisten, membelikan kopi
bosmu, mencarikan buku sekolah untuk anaknya, yang kau cari di kantormukan
bukan kebaikan dari bosmu, apa kau lupa tujuannya? Tujuanmu adalah meraih mimpi
kita yang tertunda! Tuh, aku masih simpen listnya dibelakang surat. Kau selalu
tertekan dengan pekerjaanmu itu. Lebih baik kau benar-benar berhenti dan
beranikanlah dirimu melangakah dua tangga lebih tinggi, mulailah karirmu
sebagai sutradara! Jangan menerima uluran tangan orang yang negative thinking
atau tak percaya pada mimpimu[2]
seperti bosmu yang bilang, “mimpi macam apa itu? Mustahil!” keluarlah dan
buatlah film kita menjadi benar-benar film yang ditonton orang banyak.
Kontribusikan dirimu pada Negara. Dedikasikan Film-film mu untukku supaya kau
tak lupa padaku, karena aku tak mau kau lupa. Jangan pernah takut untuk menjadi
dirimu sendiri. Aku ingin kita selalu bergandeng tangan saat kau mengucap
kalimat, “Camera rolling…action.”
Gapailah
cita-citamu, gapailah cita-cita kita bersama, jadilah sutradara untukku dan
untukmu. Bila kau punya jalan lain dan bukan inilah yang kau impikan,
jalankanlah, aku akan selalu ada disampingmu untuk memberimu motivasi, seperti
ketika kau memberiku motivasi saat aku selalu kalah dalam lomba. Kemenangan
bukanlah segalanya, kemenangan adalah satu-satunya dan kemenangan itu bukalah
sebuah hasil akhir, tapi prosesnya. Ya, karena dulu aku hanya mengejar juara 1,
2, dan 3 serta hadiahnya. Aku hanya mengejar imbalannya, lalu Allah memberiku kemenangan
yang benar-benar menang, kekuatan untuk lebih berusaha dan ‘kita seharusnya
menjadi luhur demi keluhuran itu sendiri.’ Tujuannya bukanlah hasil dan
imbalan, tapi usaha.
Berusahalah, dan
jangan lupakan aku!
--
“Gimana filmnya? Udah kamu tonton? Baguskan? Itu film
ke empat yang aku dedikasikan buatmu dan keluargamu. Kemarin pas aku ke Surabaya,
aku mampir ke rumahmu dan dibuatkan es cendol kesukaan kita dulu. Oh ya,
sekarang giliranku yang mengirimimu sms motivasi dan menghubungimu. Setiap
minggu aku akan sms dan missed call. Oh ya, rencananya management akan
kerjasama dengan Monash production, kita mau menggarap film ‘We are!’ minggu
depan kau akan jadi orang pertama yang tahu ceritanya! Tapi jangan beritahu
siapapun, Oke? Well, selamat istirahat.
Senin Aku menunggu
Selasa akupun masih menunggu
Untuk melihat apa kau baik-baik
saja
Rabu kau masih tak disini
Tidak peduli pagi ini atau nanti
Kamis juga masih kosong
Jumat, Sabtu atau Minggu
Setiap hari aku ridukan dirimu
Tidak seharipun
kau kembali seperti hari yang lalu.
Send e-mail
To :
rachma_7@gmail.com
Send.
----
Room,
1004th 11
23:05
Guweeehh???
BalasHapusItu namanya sama kayak nama guweeeh???
*narik bibir lebar-lebar ke bawah
wkwk...kenapa emangnya kalo itu elo? bermasalah?
BalasHapuscerita ini hanyalah fiktif belaka
*kesamaan nama dan tempat merupakan ketidaksengajaan.