Saya teringat
beberapa hal yang kadang salah dilakukan orang tua pada anak setelah melihat
anak tetangga kakak saya di Ungaran, Semarang waktu liburan di sana. Awalnya
saya tertarik padanya karena dia good
looking, kulitnya putih bersih dan wajahnya tampan. Tapi semua image yang
barusan saya berikan itu roboh ketika saya tahu apa yang biasa dia lakukan pada
anak-anak lain. Intinya, dia memang nakal. Kata orang tua, wajar kalau anak
laki laki nakal. Tapi tidak wajar menurut saya, kalau bandel, bolehlah dianggap
wajar. Apalagi nakalnya anak tersebut benar-benar keluar dari konteks nakalnya
seorang anak berumur 3 tahun.
Pertama
kali saya mendengar apa yang dilakukan tetangga-tetangga sebelah kalau anaknya
bertemu dengan anak lelaki itu, sebut saja Vino. Ibu-ibu melarang anak-anak
mereka main dengan si Vino, alasannya, kata kakak saya sih, “Dia nakal banget,
kalau mau pinjem barang pokoknya harus menang. Tapi kalau anak lain yang
pinjem, masyaAllah pelitnya. Bahkan disentuh saja gak boleh. Tapi dia sukanya
pamer.” Begitulah cerita kakak saya.
Haha,
saya benar benar menahan ketawa, kenapa? Itukan hal yang biasa, adik saya saja
sukanya begitu, pelit kalo barangnya dipinjem. Tapi sukanya pamer.
Tapi
hari-hari kemudian saya dipesan sama suami kakak saya ketika mengajak anaknya
yang baru berumur 1 tahunan keluar rumah untuk main. Ketika itu ada si Vino
yang juga sedang main diluar.
Mas
saya berbisik, “Dhek, dhek Dhira (anak kakak saya) ajak masuk saja. Jangan
boleh main sama Vino, dia nakal banget soalnya.”
Hemh,
saya jadi mulai penasaran dengan kelakuan anak tetangga sebelah itu. Kok
bisa-bisanya mas saya yang bekerja sebagai guru dan punya anak pintar seperti
dhek Dhira berkata demikian, bukankah seharusnya guru yang pintar
memperbolehkan anaknya main dengan siapa saja biar belajar sosialisasi.
Anehnya,
dhek Dhira malah jalan sendiri menghampiri rumah si Vino. Emang mungkin bener
ya, kalau kejahatan kejelekan itu sangat menggiurkan bagi anak kecil.
Tapi langsung saja saya angkat ke rumah meskipun sedikit rewel, karena amanat.
Sebenarnya saya penasaran dan ingin membiarkan dhek Dhira meghampirinya, trus
apa yang akan dilakukan si Vino pada Dhira, ah tapi ini amanat, ingat Nima,
AMANAT!
Lalu
saya bukakan buku alphabetnya supaya diam. Kakak saya baru selesai sarapan
waktu itu, langsung saya tanyai.
“Mbak,
mas tadi nglarang dhek Dhira main sama si Vino. Emang nakalnya seperti apa?”
“Iyo!
Jangan dibiarkan main sama dia. Kalaupun main bareng pas sore-sore harus
diawasi terus.”
“Lha??”
saya malah kaget dan semakin penasaran.
“Dia
itu sukanya menganiaya teman-temannya. Dia gak ragu-ragu nonjok si A yang
rumahnya depannya itu sampai jatuh ke jalan. Dulu aja pernah pas Vino main ke
rumah A dia mendorong A dari depan pintu, kan pintunya bertangga, jadi jatuhnya
agak tinggi, tapi untungnya bukan kepalanya yang jatuh duluan. Tapikan kalo
anak kecil mesti rasa sakitnya kerasa banget.”
Hah?
Busyet, lalu saya menanyakan berapa umur si A, katanya keduanya seumuran.
Karena
A sering di aniaya sama Vino, tetangga-tetangga sebelah selalu mengajari A
untuk membantah dan melawan, padahal asalnya A anak yang pendiam dan bila
dinakal i dia Cuma diam trus pulang ke rumah, atau menangis saja. A diajari
untuk menolak Vino ketika ia main ke rumahnya. Kakak saya pernah dengar, “Sana
pulang sana! Gak usah ke sini!” begitu teriakan si A itu.
Komentar
Posting Komentar
Silakan berkomentar disini :)