28 November 2013. Saya
kesepian. Banyak kegiatan, tapi tak sebanyak yang dulu saya lakukan. Jam 16.16
saat saya duduk dikamar didepan laptop sambil minum kopi seperti ini seharusnya
saya di suatu tempat ngobrol dan bercanda dengan teman-teman. Ini terjadi tak
hanya sekali duakali, berkali-kali dalam semester 7 ini. 6 semester lalu saya
melewatinya selalu demikian. Bahkan, sering kali saya baru pulang tengah malam
atau dini hari. Bukan buat clubbing, nongkrong, atau sejenisnya, selalu saja
ada hal penting yang harus diselesaikan dikampus bareng temen-temen. Kalopun
ngopi diluar, bagi saya obrolan kami selalu bermanfaat untuk event yang saya
garap waktu itu.
Sore ini, 16.20 saya
merenungi, sepertinya ini sebuah konsekuensi atas keputusan yang saya buat
waktu silam. Saya menghargai dan jujur sangat mengapresiasi keberanian saya
untuk mengambil keputusan itu. Gak penting sih, tapi cukup merubah hidup dan
diri saya. Saat itu, pertimbangannya adalah karena kondisi saya yang menurut
saya sangat parah. Seperti yang saya ceritakan dipost sebelumnya, 2 tahun saya
tinggal di kontrakan jam malam jam 8. Tapi bagi saya, jam malam itu hanya
fiktif, toh saya tiap hari setelah lulus dari predikat “maba” saya tetap pulang
lewat dari jam itu dengan alasan organisasi. Saya gak menyalahkan diri karena
banyak mbak-mbak yang begitu juga, jadi saya ngikuti mbak-mbak yang agak
“nyeleweng” itu. Toh habis isya ga ada agenda kontrakan. Dikeluarkan dari
kontrakan dengan cukup “tidak terhormat” saya kos di gang sebelah dan masih
sekomplek dengan kontrakan.
Menurut saya, kosan itu kosan terbaik yang pernah
saya tinggali di Malang. Meskipun ga ada sinyal, tapi justru saya gak autis
dengan gadget. Kosan yang kedua ini jam malamnya jam 8 juga. Kemudian kosan
buka lagi jam 8.05 karena saya duplikat kuncinya (ini atas perintah ibu kos
lho). Lucunya, orang-orang kontrakan ga ada yang tau kosan saya dan baru tahu
hampir setahun saat saya mau pindah lagi. Lantas, satu tahun itu hari-harinya
padat merayap, event gedhe, banyak undangan komunitas, ngisi radio, bolak balik
ke kompas Surabaya, dsb. Entah apapun itu kegiatannya, saya sering banget
pulang malem menuju dinihari. Untungnya, urusan akademik saya di semester ini
membaik. Tak seburuk semester sebelumnya.
Ini kasusnya saat itu saya
merasa bahwa sudah saatnya jadi wanita. Sebelumnya saya merasa bahwa saya
perempuan berjiwa lelaki. Tapi saya masih keluar ngalor ngidul dan waktu saya
habis untuk bersosialisasi, sedang urusan agama hanya waktu sisanya. Meskipun
saat itu saya rajin sholat diawal waktu. Ini sudah urusan agama maan! Saya
merasa, semakin sering saya bergaul dengan teman yang seperti itu maka
kesempatan saya untuk futur bakal lebih banyak.
Bukan teman yang harus
saya salahkan, tapi kemampuan tameng saya yang meragukan!
“Lebih mungkin mana? Berusaha mensterilkan semua tempat agar tak ada kuman atau memperkuat daya tahan tubuh kita sendiri?”
Intinya, saya sudah puas
bahkan sudah bosan dengan kehidupan seperti itu. Saya merasa hidup sibuk event
dan bersosialisasi itu sangat menyenangkan sampai saya jenuh selalu senang,
aman, dan nyaman.
Lalu keluarlah keputusan. Bunyi
keputusan itu kurang lebih begini, “tak adalagi pulang malam (lewat jam 9)
apalagi pulang pagi.” Dan saya memilih kos dengan jam malam jam 10. Sebenarnya
riskan karena dulu saya sering keluar kota dan pulang gak tentu. Apa boleh
buat, saya ingin merubah sesuatu dalam diri saya.
Berangkat dari satu
perubahan yang saya ambil itulah, saya merasa ada efek domino dari keputusan
itu. Banyak hal lain dalam diri saya yang ingin saya rubah. Awalnya, hanya
sekedar renungan karena merasa sudah salah langkah, ya meskipun dalam prosesnya
saya jutru malah pengen jadi anak yang sedikit “nakal” dengan pengen pacaran
(baru pengen cuii -___-“). Mungkin ini efek karena saya merasa jiwa wanita saya
sudah keluar. Jujur saja, semenjak saya merasakan hal itu, saya sedikit lebih
peka apalagi dengan yang namanya kisah cinta. Sebelumnya? Jangan tanya.
Lanjut, berangkat dari
aksi saya yang gak mau pulang larut itu kemudian saya berusaha memperbaiki diri
lagi, lebih ekstrim malah. Kali ini lebih serius, mau pake rok. Selesai
statement ini keluar, banyak yang nunggu saya pake rok *cieh. Beneran ini
-___-“. Cuma buat bahan bully-an sebenere :’). Sampai detik ini saya baru
merealisasikannya sekali saat di FIM 15 kemarin atas paksaan temen saya.
Akhirnya, keluarlah keputusan
yang lain. Saya beneran pengen jadi wanita anggun. Ga peduli lagi orang mau
bilang apa. Ketauan pakai flat shoes dikampus, diketawain, ditanyain, di bilang
gausah dipake lagi ato dibilang be your self! Embuh, I don’t care, porah,
karepmu! Tapi sekali lagi, ini masih proses menuju kesana. Saya masih berusaha
menjadi wanita anggun (dalam pikiran saya), pelan-pelan.
Saya rasa, ketika ada satu
perubahan yang terjadi, maka aka nada perubahan-perubahan lain yang menyusul.
Karena saya mengalaminya, saya percaya efek domino kebaikan. Memang nyata,
selesai menginginkan menjadi wanita anggun, saya ingin kembali dekat dengan
Allah, bagaimanapun caranya!
Dan proses ini berlangsung
hingga hari ini. Dimana, saya mulai ingin merubah lifemap yang awalnya ingin
kerja, kuliah, travelling, menikah, menjadi, travelling, kuliah, menikah,
kerja. Dulu mungkin saya hanya bilang mulai peka dengan kisah cinta, bukan lagi
kisah cinta, ada asmara dalam diri saya. Dulu saya gak punya hati, sekarangpun
masih gak punya.
“Wanita adalah tulang rusuk jodohnya dan lelaki adalah hati yang akan melengkapi jiwa jodohnya.”
-------------------
Saya merasa menemukan hati
saya. Ruang yang tadinya kosong itu, akhirnya akan terisi dengan hati yang
selama ini hilang. Semakin saya percaya dengan kisah asmara yang tak pernah
saya temukan dalam hidup saya sebelumnya, semakin saya ingin memperbaiki diri.
Saat lelaki itu bangkit,
saya duduk, apapun yang dia lakukan, saya ingin mengimbanginya dan
menyempurnakannya. Saya ingin menjadi orang yang paling berbeda agar saya bisa
melengkapi yang tak ia punya. Saya cemburu buta karena cinta saya pun cinta
buta. Apalah dikata, banyak wanita menyukai dan mengincarnya. Mulai dari yang
cantik sampai yang pintar. Sedang saya hanya bisa duduk manis sambil
memandangnya dari bilik jendela. Itu saja sudah membuat saya bahagia sampai
hari Rabu minggu berikutnya. Selalu, rutinitas yang sama setiap Rabu. Teman
yang lain, berdiri mencari gebetan masing-masing saat mereka keluar dari lab.
Komputer. Gayanya, saya mengerjakan soal-soal, tapi mata melirik keluar
ruangan. Sambil menunggu Nira berteriak, “Mbak Peni, Mbak Peni... cieee.”
Lantas memegang dada menyembunyikan suara jantung. Detaknya cepat karena dua
hal, bahagia melihatnya dan cemburu mendengar suara Nira. Teman dekat saya di
kelas, menyukainya. Sinetron sekali.
5 September 2011, sudah
saya bilang saya percaya bahwa sayalah tulang rusuknya dan dialah hati saya.
Mau saya jadi yang pertama, tengah atau terakhir kalau jodoh tetap saja jodoh.
Siang itu dia menikah. Undangannya ia sampaikan langsung, seingat saya, saya
punya 6 kali detak jantung terkeras sampai terdengar telinga saya ya saat
menerima undangan itu. Saya hanya terdiam, tak ada yang memperhatikan. Air mata
hanya sampai di pelupuk. Saya bahagia, dia bahagia, istrinya bahagia. Istrinya
akan merasakan hal yang sama saat aku menjadi istri keduanya nanti. Ya, istri
kedua.
Barangkali, sudah cukup
tujuh tahunnya. Sudah cukup pula delapan tahunnya. Saya terlalu buta
mencintainya. Saya lupa bagaimana saya harus mencintai, saya lupa bagaimana
cemburu, dan saya tak sadar bahwa hati itu sebenarnya sudah lama hilang.
Lalu sosok lelaki hanya
menjadi kuman bagi saya. Tak ada yang tahu, saya pandai akting untuk hal satu
ini. Sayangnya ada satu orang yang mampu mengingatkan saya bahwa show must go on. Tak mungkin saya mati
hanya demi menunggu orang yang tak lagi peduli pada saya.
-------------
Saya menemukannya kembali.
Menemukan hati yang hilang untuk menempati ruang kosong ini. Sayang, saat saya
mulai merasa menyukai seseorang, ada benteng otomatis yang selalu menghalangi. Setiap
kali sudah merasa saya menemukan hati saya yang hilang itu, saya mundur.
Menjauhinya, menghentikan komunikasi, menutup semua celah. Lalu saya diam,
pura-pura tak terjadi apapun. Lalu mencari kambinghitam yang bisa saya jadikan
oknum, inilah orang yang saya sukai! Kali ini, saya tak ingin mencari kambing
hitam.
Dan, semakin lama, saya
semakin mahir menghentikan rasa. Kecuali saat menyebut namanya, dada saya tetap
sesak! Saya masih mengharapkannya? TIDAK!
28-11-13
Cinta buta itu gak nikmat,
benar-benar membutakan saya. Bahwa ada banyak orang lebih baik disekitar saya,
dan saya tak bisa menyadari itu.
Komentar
Posting Komentar
Silakan berkomentar disini :)