Sebelumnya, pembahasan
ini akan cukup panjang. Kalau ga sempet baca, boleh baca konklusinya saja X.X
Saya cukup paham, bahwa
tak sedikit mahasiswa yang tidak begitu menyukai mahasiswa yang menerima
beasiswa apalagi beasiswa dari pemerintah sejenis bidik misi (beasiswa
pendidikan miskin dan prestasi). Banyak alasannya, salah satunya yang barusan
saya baca adalah karena banyak anak bidikmisi yang lompat strata. Yang
seharusnya statusnya “miskin” tetapi menjadi kelas “menengah” (tentusaja kelas
menengahnya kampus di fakultas penulis artikel tersebut) karena menggunakan
uang negara sebesar Rp 600.000 (biaya hidup mahasiswa bidikmisi) dengan
membelanjakannya sehingga dia menyebut mahasiswa yang demikian sebagai koruptor.
Belanja yang dimaksud adalah membeli baju, tas, sepatu dan lain sebagainya.
Bahkan menggunakannya untuk beli android, bb, tablet, dan lain sebagainya.
Sayang, laptop belum disebutkan (menurut saya laptop lebih mahal drpada
android, bb, tablet, dkk dan hampir semua penerima bidikmisi menurut saya punya
laptop).
Kenyataannya, memang
tidak sedikit mahasiswa bidik misi yang banyak berasal dr keluarga cukup mampu
untuk membiayai kuliah dan selebihnya terlihat mahasiswa biasa.
Asumsi saya terhadap
mahasiswa lain yang beranggapan seperti hal itu adalah antara lain:
1.
Asumsi baik:
a.
Mahasiswa
penerima bidikmisi (BM) yang dianggap koruptor karena menggunakan uang negara
(red=uang rakyat) adalah karena tidak menggunakannya dengan bijak.
b.
Penerima BM
dianggap konsumtif, lebih konsumtif drpd mahasiswa bukan penerima Beasiwa.
c.
Barang yang
dibeli penerima BM atau penerima uang rakyat seharusnya cukup membeli barang yang
dibutuhkan. Boleh mahal, tapi yang benar-benar penting. Misalnya, laptop memang
lebih mahal dari pada android sejuta, tetapi sangat bermanfaat untuk kuliah
dibanding android.
d.
Banyak
penerima BM yang seharusnya tidak menerima BM karena orang tua masih mampu
memberinya uang saku maupun uang kuliah meskipun sedikit.
e.
Tak sedikit
penerima BM yang berasal dari keluarga kaya (tetapi sudah tidak punya orang tua
ataupun salah satu diantara keduanya meninggal, atau pensiunan keduanya tak
mampu membayari kuliah, atau kaya yang hampir bangkrut).
f.
Penerima BM
tapi gayanya seperti pengusaha triliunan atau pewaris tahta kerajaan.
(sebenarnya teman saya tak sedikit yang berwirausaha dan tajir dari sana, bisa
jadi salah satunya penerima BM)
g.
Seharusnya
bersyukur bisa kuliah dan hidup dibiayai negara, bukannya foya-foya dengan uang
itu. (Demi apa, saya sangat senang dengan asumsi ini).
h.
Kebiasaan
mental miskin adalah sedikit saja punya uang, maka bagaimana membelanjakannya.
Kalau duit abis beasiswa telat, nangis darah sambil nanya “kapan beasiswa
cair?” seolah gak bisa hidup lagi bulan depan. “Bego, sih! Duit tuh dihabiskan
untuk ditabung!” kata mahasiswa bermental kaya untuk masa depan. Semacam
peribahasa muda menabung tua beruntung
*ehh,
2.
Asumsi tidak
boleh ditiru:
a.
Penerima BM
tidak boleh membeli baju, sepatu, tas, hape, dan segala jenis barang yang TIDAK
berhubungan dengan kuliah/kampus. Itu uang negara woe! Korupsi namanya!
b.
Penerima BM
dilarang tampil seperti kelas “menengah” nya mahasiswa. (kalo high class boleh dong ya).
c.
Dilarang pake
barang mahal! Mahasiswa lain saja sederhana, masak penerima BM barangnya
mahal-mahal.
Lalu kata anak BM, “dont judge the
book by the cover! Pake barang mewah belum tentu barang mahal”
Iya lho, sekarang banyak KW hahaha.
d.
Harus kudu wajib
mesti selalu tampil sederhana apa adanya kalo perlu ya semacam orang miskin
gitu.
Empat orang teman dekat saya penerima BM, secara finansial memang tidak
mampu membiayai kuliah. Physically, menurut saya
mereka biasa hidup berkecukupan. Gadget
bukan saya jadikan parameter, karena harganya menurut saya banyak smartphone
didesain untuk sejuta umat. Saya melihatnya dari gaya hidup. Bagaimana dia
membelanjakan uang semesteran (bukan lagi bulanan karena turunnya di akhir
semester) untuk makan sehari-hari dan bagaimana cara dia bermain dan bergaul.
Hal inilah yang saya jadikan parameter karena kampus (fakultasnya terutama)
tempat saya kuliah gengsinya jauh lebih tinggi dibanding kampus penulis artikel
sebelumnya. Kalau gak percaya boleh disurvei ke kampus saya >.<
Hasilnya, dua teman saya
penerima BM adalah mantan model ketika di jenjang sekolah sebelum kuliah. Wajar
ketika dia berpakaian dan cara berdandannya good
looking bet. Dua sisanya juga good looking. Yang satu (orang ketiga),
dia tipe pembelanja tapi berhasil mendapatkan uang dari banyak hal, tapi bukan
dari orang tuanya. SEJAK KECIL. Yang terakhir, si D ini berasal dr keluarga
biasa. Aslinya sederhana, tapi secara tampilan macam orang kelas middle up demikian dengan caranya
membelanjakan.
Kalian tahu, orang
terakhir ini, meskipun gaya hidupnya middle
up dengan uang negara, prestasinya luar biasa. Menjuarai banyak hal,
menurut saya, ia punya uang lebih dari hadiah lomba yang dia ikuti. Orang yang
nomor tiga, teman dekat saya sejak maba, teman seperjuangan di kelas ini
hidupnya hugh class. Hidupnya ia sendiri
yang membiayai. Sebelum kuliah ia menggantungkan hidupnya sehari-hari dari
teman-temannya yang dimanfaatkan uangnya. Saat kuliah, ia mati-matian cari
beasiswa dan membuka bisnis online
yang sekarang sedang happening.
Bayangkan saja, anak kecil mana yang ditinggak kakak mama dan bapaknya hidup
sendiri sampai bisa kuliah dengan usaha pribadi. Saya sendiri mungkin gak bisa
sesemangat itu. Sekarang, bisnis jalan, beasiswa dapat. Boleh dong beasiswa
untuk dimanfaatkan? Dibelakang itu, uang bisnisnya untuk membiayai anaknya. Ya,
dia sudah menikah dan punya anak. Siapa sangka?
Lalu, dua model terakhir
penerima BM. Saya sendiri heran bagaimana bisa dua model sekaliber mereka menerima
beasiswa pendidikan miskin dan berprestasi? Ini yang sangat saya sayangkan. Melihat
keduanya dari latar belakang. Yang satu model yang sudah mewakili Indonesia ke
Cheko, yang satunya tingkat provinsi. Keduanya adalah Miss Deaf (diffabel / different abbilities). Keduanya tuna
rungu dan tuna wicara. Siapa sangka itulah prestasi mereka, memiliki
keterbatasan tetapi berprestasi luar biasa.
Lalu, dengan latar
belakang mereka, dengan gelar Miss deaf, berdandan dan berpenampilan good looking adalah salah satu abilitas
yang bisa mereka lakukan. Apakah ini tak cukup membuktikan effort mereka dibalik kehidupan sehari-hari?
Saya rasa kita tak boleh menilai warna kulit
orang, tapi kita sendiri sudah memaknai warna kulit. Saya rasa kita sendiri
yang mengatakan don’t judge the book by
its cover, tapi kita membuat peribahasa yang fenomenanya sudah terjadi.
Saran saya, iya. Jangan
menilai penerima BM hanya dari tampilan luar, dont judge the book by the cover and its paper. Bisa jadi novel dengan kertas putih lebih murah
drpada kertas buram. Tak semua kualitas bagus itu kasat mata. Bisa jadi, cover novel itu terlihat bagus dan mahal
karena dibalik pembuatannya ada usaha dan seribu bisnis didalam isinya.
Pesan saya, kepada
penerima BM, Tuhan itu menurunkan ujian dalam dua bentuk. Nikmat dan cobaan.
Ujian yang sedang tuhan berikan kepada penerima BM adalah ujian nikmat. Maka
dari itu, gunakan uang rakyat yang telah diamanatkan pada kalian dengan baik.
Caranya? Bersyukurlah! Perkara pemerintah menyalahgunakan uang BM dengan
mengendapkannya terlebih dahulu, itu dosa pemerintah atas penyelewengan yang di
lakukan.
Siapa sih yang mau salah
dan disalahkan? Biarlah yang lain yang salah, jangan sampai kita salah karena
langkah kita sendiri.
Tulisan ini juga untuk
mengingatkan saya yang belum bijak menggunakan uang rakyat. Terimakasih penulis
artikel sebelumnya, ini juga salah satu pengingat saya agar bijak.
Anggaplah asumsi ini hanya becandaan heheh........
wah lumayan panjang juga ya kak artikl nya hehehe :D
BalasHapuslangsung baca kesimpulan nya aja saya ;)