Dua hari yang lalu dia
duduk disampingku. Menatap ujung langit di bukit Tebu. Ia bentangkan tangannya,
lalu menarik nafas.
Aku menatapnya lalu
bertanya, “Cinta seperti apa yang kau inginkan dimasa depan?”
Ia diam saja, kurasa dia
sedang memikirkan jawabannya. Lalu ia menempelkan tangannya ke telapak
tanganku. Matahari hampir tenggelam, ia tak berbicara sedikitpun. Aku suka
caranya menjawab pertanyaanku. Tanpa bicara, diam, tapi ia menjawabnya dengan
begitu anggun melalui nonverbal. Tatapannya teduh, meneduhkan aku dan hatiku. Diamnya
membuatku semakin tergila-gila.
Dan aku berhasil
membuatnya tersenyu, senyum terhebat yang pernah kuterima. Seakan ia mengatakan,
“Aku bangga padamu, Fi.” Padahal ia hanya menatapku, lalu menggenggam tanganku
semakin erat. Belakangan, aku tahu bahwa ia sibuk bolak-balik berkumpul bersama
rekannya membahas bisnis baru. Bisnis baru, butik yang aku bicarakan padanya.
Lalu apa jawabnya, “Biarkan aku bisa memberimu advice saat kamu membutuhkannya.” Tak ada yang bisa lagi aku
perbuat selain semakin mencintainya.
Di Bukit Tebu, aku
menceritakan bagaimana aku ingin hidup dimasa depan. Aku menginginkan hidup di
kota yang tak begitu ramai. Menempati sebuah rumah tak begitu besar cukup untuk
dua anak laki-laki dan satu perempuan. Menikmati masa-masa usia baya berdua
dengan bisnis yang stabil. Ia memiliki banyak bisnis, sedangkan aku menggarap
bisnis butik. Saat ia bangun tidur dan bersiap-siap pergi, aku sudah menyiapkan
sarapan untuknya. Sarapan yang kubuat sendiri. Indahnya masadepanku.
Aku berharap, ia
menceritakan sedikit apa yang diinginkannya dimasa depan nanti. “Kamulah
masadepanku.” Ucapnya sebelum aku mengakhiri ceritaku. Ia selalu bisa membuatku
speechless. Tapi aku tenang. Semakin
tenang ketika mendengar ia mengulangi kalimat itu.
Sekarang, aku tahu apa
arti kalimat “Kamulah masadepanku!” yang membuatku teduh saat melihatnya.
Akhirnya ia mengatakan “Will you marry me?” setelah kalimat itu.
“Ya, I will!” jawabku.
Sayangnya, aku menyesali
jawaban itu. Hari ini, ia resmi bercerai dengan istrinya di pengadilan agama.
Pening, dikepalaku hanya
terpikir, lelaki yang begitu teduh, lelaki masadepanku menceraikan istrinya
untuk menikahiku.
Dihari yang lain, tak
kusangka wanita yang sedang duduk di pengadilan itu adalah aku. Menghadapi
perceraian dengan lelaki teduh, lelaki masadepanku.
Nima
Komentar
Posting Komentar
Silakan berkomentar disini :)