*Anima
Bagi Raden Ajeng Kartini,
bukan hal muluk-muluk yang ingin diperjuangkannya untuk perempuan-perempuan
Indonesia, semenjak surat-suratnya kepada sahabatnya di Belanda yang berisikan
curahan hati tentang perlakuan bangsanya terhadap perempuan. Diambil dari
sebuah suratnya pada 23 Agustus 1900, yang menggambarkan motto hidupnya “aku
mau” bahwa yang ia inginkan adalah hak-hak wanita untuk mendapatkan pendidikan
sama dengan lelaki. Bahwa wanita juga berhak mendapatkan kesamaan hukum di mata
negara. Ya, emansipasi wanita orang abad 21 menyebutnya.
Pemikiran-pemikiran
Kartini yang ditulis tahun 90-an hingga saat ini masih relevan dan menjadi
sebuah inspirasi bagi wanita Indonesia yang merupakan cita-cita, harapan, dan
pemikiran RA. Kartini melawan bentuk kesewenangan dan penindasan terhadap
harkat wanita pribumi (Jawa) yang selalu mendapatkan perlakuan diskriminatif
secara kultural. Seperti inilah pemikiran Kartini yang dikutip dari buah
suratnya pada sahabatnya,
...Teman
kami ingin melihat saya bekerja dengan pena saya untuk menaikkan derajat bangsa
kami. Saya harus menerbitkan majalah atau yang sejenis dengan itu, yang membela
kepentingan rakyat dan saya yang memimpin redaksinya. Atau, saya harus menjadi
pembantu harian dan majalah terkemuka di Hindia, dan di situ menulis
karangan-karangan yang tajam, yang harus membuat orang terbangun bahkan membuat
orang-orang yang tidur nyenyak terkejut bangun!!...
(Surat
Kartini kepada Estelle Zeehandelaar 11 Oktober 1901)[1]
Sebuah surat luar biasa
dari seorang pemuda Indonesia yang di kenang seluruh anak negeri melalui lagu Ibu Kita Kartini. Pemikiran yang lahir
dari rahim perempuan Jawa yang mencoba memperjuangkan hak perempuan pribumi ini
pun menginspirasi pergerakan wanita Indonesia untuk mencapai harkat yang
‘setara dengan laki-laki’. Benar, Emansipasi disini bukan lagi berarti tuntutan
tuntutan terhadap hak pendidikan dan hukum melainkan “kesetaraan dengan
laki-laki”. Lalu muncullah istilah persamaan gender. Mungkin arti dari
persamaan gender ini bukan feminis sama dengan maskulin, tetapi, apapun
bentuknya, cirri dan kategori gender feminis dan maskulin merupakan titik yang
berbeda dan jauh. Artinya, pergeseran maskulinitas maupun feminitas yang
terjadi pun tetap tidak akan merubah kodrat kedua gender tersebut. Seringkali
wanita menginginkan kedudukan yang sama, jabatan yang sama, pekerjaan yang
sama, atau bahkan wanita ingin mendominasi lelaki seperti motto Kartini,
“wanita mau” bukan lagi “aku mau”. Dalam kamus ilmiah popular, emansipasi
merupakan istilah yang baik yakni “gerakan untuk memperoleh pengakuan persamaan
kedudukan, derajat serta hak dan kewajiban dalam hukum bagi wanita”. Namun,
ternyata peran emansipasi sudah bergeser, bukan lagi persamaan kedudukan tapi domination.
Faham feminis juga memiliki
implikasi negatif yang pada akhirnya merusak tananan sosial masyarakat. Feminisme yang diperjuangkan
Kartini bukan yang sebagaimana difahami wanita modern sekarang, sifat egaliter
yang ingin dikobarkan Kartini adalah kesetaraan bukan tanpa batas sehingga
tidak adanya perbedaan antara hak dan tanggung jawab antara laki-laki dan
perempuan. Feminisme modern yang lahir dari feminisme liberal dan sosialis
inilah yang menimbulkan ketidakstabilan sosial karena tumpang tindih peran.
Faham ini memperjuangkan egaliter tanpa batas yang pada akhirnya menimbulkan
kesenjangan kualitas maskulin dan feminis dalam diri wanita.[2]
Sifat mengusai, kompetitif, dan ambisius yang
berifat maskulin diadopsi perempuan untuk bisa mengambil peran dalam sektor
publik, dan terkadang melemahkan sifat feminisnya yang berkarakter pengasuh,
pasif dan pemelihara.
Boleh, wanita menuntun
hukum yang sama dengan lelaki, namun, kedudukan dan status wanita tetaplah
berbeda di mata islam,
وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ
دَرَجَةٌ. وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Dan
para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya dengan cara yang
ma’ruf. Akan tetapi kaum lelaki (para suami), mempunyai satu tingkatan
kelebihan daripada kaum wanita (istrinya).”
(Al-Baqarah: 228)
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ
عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا
مِنْ أَمْوَالِهِمْ
“Kaum
lelaki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, disebabkan Allah telah melebihkan
sebagian mereka (lelaki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka
(lelaki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (An-Nisa`: 34)
Esensi dari emansipasi
sesungguhnya memang diperlukan, yakni menjadi seorang perempuan dengan
kodratnya sendiri dengan cara yang patut. Tak hanya akan mendapatkan
keseimbangan yang menyenangkan tetapi juga pahala. Bukankah nikmat ketika
seorang wanita mendapatkan perlakuan khusus? Tak perlu jauh-jauh, gerbong
wanita sebagai contoh nyatanya. Lantas masih adakah wanita yang tidak
tersanjung mendapatkan perlakuan khusus? Yang mendapatkan perlakuan lebih
karena kodratnya memang berbeda dari laki-laki di beberapa hal.
Maka Kartini sebenarnya
bukanlah kenangan. Ia lebih menyerupai masa depan ketimbang masa silam. Sebuah
tugas, sebuah revolusi, atau barangkali, sepancar terang, yang menurutnya
sendiri "tidak bisa dipercepat tapi sudah ditakdirkan." Sehingga,
tugas kitalah sebagai penerus kartini dan seorang muslimah untuk mempertahankan
apa yang telah Kartini raih. Mengembalikan ideology wanita super Indonesia. Merealisasikan
cita-cita besar Kartini, “Habis Gelap, Terbitlah Terang.”
[1] Dikutip
dari http://www.goodreads.com/story/show/17062-habis-gelap-belum-terbit-terang-suatu-sketsa-atas-surat-surat-kartini
diakses pada 7 Mei 2012 pukul 5.52 WIB.
[2] Suara
Mahasiswa dalam Okezone
blognya cantik
BalasHapuso ya, saya sudah follow blog kamu...
salam kenal ya..
kalau berkenan silahkan mampir ke blog saya, follow juga boleh… :D itung-itung buat nambah follower
trimakasih...hihihi
BalasHapussiap, saya segera mengunjungi dan menjadi follower :D