Singgahan angin malam tak bercorak menghembus kesana kemari. Iringan lampu kerlip merah biru bersaingan. Dendang unik dari suara mobil yang ditakuti semua kriminal mulai bergeming malam ini. Mereka lari, kabur menyelamatkan jiwa kelam mereka agar tak semakin terpuruk dihadapan yang agung di persidangan. Dikeluarkannya seluruh tenaga dan kekuatan melawan hambatan malam yang kian gelap dan tak bersahabat.
Lari terbirit-birit menghabiskan semua kekuatan yang sisa sedikit setelah menghamburkannya dalam perkelaian pertumpahan darah. Kiamat mengejarnya, sisa hidupnya jatuh tempo, letihnya tak berperi, tak disangkanya polisi akan mengetahui gelagat mereka. kakinya mulai remuk dan kehabisan darah tak mampu menopang dan memompa larinya lagi. Tapi otaknya bergulat, ia masih ingin hidup dalam keremangan dunia,ia masih ingin menjadi preman Jarot yang disegani, masih ingin menikmati aroma sabu dengan sentuhan tangannya sendiri yang menghadirkan siluet siluet hitam masa lalunya. Menyenangkan sekali.
###
Sinar lilin berkibar-kibar bak bendera merah putih mengacaukan pandangan setiap mata yang disinarinya. Namun lantunan a ba ta tsa terus mengalir indah mengiris hati sosok wanita tua yang duduk didekatnya. Batinnya tak kuasa mendengar putra mahkotanya yang tiap maghrib subuh menduduki singgasananya untuk melantunkan lagu indah itu. Sungguh, saat saat itulah ia mulai memikirkan betapa hina dan hitam hatinya memiliki putra seajaib anaknya.
“Mak, aku sudah apal sampai wau’[1]!” girangnya memberitahu wanita itu.
“Mmhhh, bocah pinter! Harus tamat ya, ha, lamalip, hamzah, sama ya.” ia mengelus rambut bocah dengan kasih sayangnya dan senyum perihnya.
Malam kian larut, desitan suara dari bambu-bambu anyaman rumahnya mulai terdengar sebab angin malam menerpanya tanpa ampun. Ditatanya dipan kecil persegi panjang reot dari bambu hasil temuan suaminya di dekat kali untuk tidur sang putra mahkota yang akan mewarisinya. Ditebasnya selimut lusuh berbau debu dan menyampirkannya di ujung dipan.
Ia menarik lengan si anak, memberinya sedikit tempat untuk duduk disampingnya. Diajarinya menghitung dengan jari darah daging berusia 6 tahun itu. Ia menambahkan satu angka setiap harinya. Jika tangannya sudah tak mampu menjawab pertambahan itu, ia ambil kendi dan barang-barang lain didekatnya untuk mengajari putranya. Hanya itu yang bisa diajarkannya sendirian. Suaminya tidur dari sore hari hingga nanti gelap gulita. Waktu-waktu itulah ia bekerja, memberi nafkah untuk anak istrinya.
“Pak’e sudah makan to Mak?” anak itu mengalihkan perhatian melihat bapaknya gelimpungan di tikar bawah.
“Sudaah. Ayo lanjutkan. Nanti selesai Isak langsung tidur.” Bahkan ia tak tahu dan tak melihat, kapan terakhir lelaki tua yang disebut suaminya itu makan. Mungkin kemarin malam, atau kemarin siang. Siang ataupun malam, hari ini entah kemarin atau lusa, yang jelas ia bersikeras bahwa suaminya sudah makan, pernah makan. Ia enggan menyebut itu membohongi anaknya, ia ingin anknya jujur, sukses dan amanat.
Beda dengan bapaknya, pemulung barang berharga di rumah warga.
###
Hhutan tak lagi menyeramkan bagi anak-anak sepertinya, tak menakutkan meskipun gelap. Ia sudah hapal jalan naik turun tikungan tajam dan bahaya. Hingga matanya tertutup pun ia takkan gagal menempuh jalan kaki hingga rumah, gubug reot bapaknya. Tiap 6 bulan saat-saat hujan tak membanjiri lahan dan hhutan, adalah ladang bagi bapak dan Maknya mendapat rejeki halal.
Orang-orang dewasa yang katanya dari kota mulai berdatangan ke hhutan, tinggal disana beberapa hari dan menjadi tetangga mereka, kurang lebih begitu kata Maknya yang ia ingat.
“Mereka bodoh ya Mak?”
“Hush! Kok bodho ta, Bi?” Bibi, panggilan untuk anaknya Habibi Usamah, nama yang ia peroleh setelah menahan lapar haus puasa 3 hari 3 malam. Ia pernah mendengar nama itu saat ke kota. Habibi nama mantri didekat pasar dan Usamah ia peroleh ketika bertandang ke sawah lurah sebagai buruh, anaknya punya nama belakang Usamah. Lantas, ia menggabungkannya.
“Di kota sudah enak, kok malah hidup di hhutan!”
“Eh, itu karena mereka tak punya udara yang segar seperti udara di hhutan yang menyehatkan. Disana banyak debu dan asap.”
Anak itu hanya manggut-manggut setiap usai Maknya bercerita. Satu-satunya sumber wawasannya. Kalau sudah mulai tinggal di hutan, Bapaknya mulai beraksi, memecah degan dan menuangnya di panci untuk membuat kelapa muda manis. Tak ada es memang, di hutan sudah terlalu dingin lagipula siapa yang kenal dengan pendingin? Mak dan anak itu yang menunggunya. Sementara itu, Bapak kembali mengumpulkan kayu, dibawa kekota malam nanti dan pulang bawa uang. Begitulah yang diketahui si anak itu.
Wanita itu mendirikan meja dengan degan diatasnya. Beberapa orang-orang dewasa mulai mengerumuninya ber niat membeli. Sedangkan si anak, hanya melihatnya dari sudut lain tanpa kedipan di matanya.
Malam dihutan tetap saja malam biasa, Ia paling suka dengan suara malamnya. Suara kendang kerongkongan katak, jangkrik dan binatang lain, baginya suara- suara itu merupakan paduan yang unik. Bapaknya telah kembali dari hutan sebelum maghrib tadi dan sekarang memintal kayu. Mak menghitung uang jualan degan. Bibi duduk disamping Maknya, ia terlihat bergairah dan kagum melihat kertas-kertas uang kumuh itu, tak biasa ia melihat uang dari kertas, setahunya uang terbuat dari logam. Begitu ia menatap Mak, ia juga melihat binaran cahaya dimata sayu itu.
Selesai menghitung, Mak menebah dipan dan menarik lengan anaknya untuk tidur. Mak dan Bapaknya masuk ke dapur, ia hanya mendengar desisan-desisan suara kedua orangtuanya tanpa tahu maksudnya.
“Mau nyuri lagi, Pak?”
“Hush! Jaga mulutmu! Kerjaan bapak memang Cuma itu, bilang saja mencari nafkah, Mak. Biasakan!”
“Sama sajakan! Toh hasilnya juga dari nyolong.”
“Ini juga untukmu dan anakmu! Aku ingin dia sukses dan gampang nyari duit di kota, makanya kita harus cari duit buat dia dulu, nanti kita ajari dia jualan degan! Nanti, semua rumah dan barang-barang ini untuknya. Diwarisi olehnya. Semua yang kita miliki harus diwariskan padanya. Kecuali pekerjaanku!”
“Buat apa pekerjaan seperti ini di wariskan pula?”
“Ah! Jadi kamu sekarang tak sudi dengan pekerjaanku?”
“Pak, Bibi sudah cukup besar dan paham hal-hal seperti itu! Baik jelek ia paham. Bahkan Bapak pernah dengar ia mengaji di pergantian waktu, Subuh dan Maghrib? Suaranya merdu, Pak!”
“Lantas?”
Wanita itu hanya menggelengkan kepalanya. Ia mulai tak mengerti jalan pikir lelaki tua didepannya yang hidup bertahun-tahun susah dengannya. “Aku pengen dia jadi anak baik-baik seperti anak Pak lurah yang jadi ustadz itu Pak! Tapi kalau bapaknya saja seperti ini terus... Tuhan tak mungkin mengabulkan!”
“Tuhan?? Dia memang tak pernah mengabulkan do’aku!”
“Astagfirullah, Pak!”
“Sudah! Bereskan Kayunya! Aku mau ngungsi dirumah orang kaya desa sebrang.” Lelaki itu segera pergi dari dapur dan meninggalkan wanita rapuh dengan tangisnya dibelakang. Ia tak berbalik sama sekali. Hatinya merasa takut telah menyakiti istri satu-satunya, bukan hanya itu, ada hal lain yang menakutinya malam ini entah apa itu. Tapi ia punya jiwa yang keras dan gampang menampik apapun. Diputuskannya untuk tetap kerja malam itu.
$$$
Angin-angin malam berhembus seperti malam kemarin dan lusa. Dinikmatinya lagi lantunan kerongkongan katak dan jangkrik yang meraung keras tiap malamnya, desisan angin juga tak kalah kencang. Ia memperhatikan bintang dan bulan yang tertutup kanopi-kanopi hutan dari gubug bapaknya. Dilukisnya wajah Mak yang tiap sore dan pagi mengajarinya mengaji. Tapi tidak hari ini, ia melihat luka di wajah wanita yang ia muliakan itu. Tetesan air matanya sore tadi membuatnya merasa kesepian, ia enggan mengaji tanpa Maknya. Ia enggan belajar menghitung dan mengambil kendi-kendi dapur untuk latihannya.
Kemarin Maknya memasak tempe dengan sambal yang enak untuk 3 orang, ia Bapak dan Mak. Tapi hari ini Mak kembali masak cukup untuk berdua. Mungkin uang hasil jualan degan sudah tak cukup untuk beli tiga lauk. Mungkin Mak menangis sore tadi karena itu. Uangnya habis. Lauk tak ada dan bapak enggan pulang, ia mencari uang. Dilukisnya lagi wajah Mak yang tersenyum simpul setiap menerima uang, iapun ikut tersenyum menikmati lukisan bintangnya. Wajah Mak yang tua terlihat memesona di imajinasinya. Bintang-bintang, aku ingin membuat Mak tertawa, batinnya.
“Tidurlah dulu Bi! Mak menyusul.” Suara serak itu menggema di telinga Bibi.
Ia segera meninggalkan bintang-bintang itu dan menata dirinya diatas dipan, mengikuti perintah Mak. Disibaknya selimut menutupi tubuhnya hingga leher.
“Jangan lupa berdo’a!”
“Iya, Mak. Bismika Allahumma Ahya wa Bismika amuut. Semoga besok Mak bahagia.” Sengaja ia berdo’a keras-keras supaya didengar.
Mak kaget mendengar do’a anaknya barusan. Hatinya semakin teriris. Ditahannya air mata yang membendung itu, menanti anaknya tidur.
Bibi tak menghiraukan apapun, ia sudah mendengar titah Maknya, maka iapun merasa wajib melaksanakannya. Malam ini ia tidur lebih awal tanpa mengaji dan menghitung jari.
Malam-malam lain berlalu, sama dengan beberapa malam lalu. Ia tidur tanpa megaji dan menghitung jari. Padahal, baru 3 kendi yang ia pakai, ia baru bisa penambahan paling banyak 6 + 7 yang jumlahnya 13 dan dibutuhkan 3 kendi untuk menghitung itu. Angin malam kali ini semakin memberontak. Mereka berputar-putar tak karuan dan membuat gubuknya terkoyak. Mak sudah tak menangis lagi, padahal sekarang makan hanya 2 kali sehari itupun tanpa lauk, kalaupun ada paling krupuk pasir, sedangkan dulu lauk makan adalah tempe. Meskipn kelaparan tiap siang, Bibi senang sudah tak pernah melihat Maknya menangis dan sedih lagi, walau sekarang jarang tersenyum. Dugaannya hanya satu, mungkin uang Mak sudah habis. Dan Bapak enggan pulang karena tak ada lauk.
“Kamu belum tidur, Bi?” Mak duduk disampingnya diatas dipan sambil mengelus kepalanya.
Bibi menggeleng. “ Mak belum ngajari ngaji dan menghitung.”
Jantungnya berdetak kencang. Ia bahkan sudah lupa kalau setiap maghrib dan subuh mengajari anak semata wayangnya ini mengaji. Ia lupa. “Astaga, Mak lupa kalau harus mengajarimu sebelum tidur. Sekarang sudah malam, tidurlah dulu. Besok Mak ajari lagi.”
“Aku sudah sampai wau, Mak!”
“Iya, anakku. Mak janji, besok mengajarimu ha lamalip hamzah sama ya.”
“Bener Mak? Aku sudah lama tak ngaji dan menghitung.”
Mak mengusap kepala anaknya lagi. “Mak sampai lupa, kau bisa menghitung sampai berapa?”
“Aku sudah bisa 6 + 7, tiga kendi itu yang dulu dipake Mak untuk ngajari aku menghitung.”
Bahkan Ia juga lupa kalau ia menggunakan kendi-kendi itu untuk mengajari anaknya. Ia terlalu pandai sebagai anak orang miskin. Ia terlalu sholih menjadi anak tukang maling. Ia menangis dalam hatinya dalam kebahagiaan yang tak ternilai itu. Ia takut, haruskah bersyukur atau menyesal telah mendidik anaknya demikian.
“Kenapa Mak?”
“Tidurlah!” Mak hanya menggeleng. Lalu ia merapikan selimut dan meninggalkan anaknya sendiri di atas dipan, ia menghilang didapur.
Kali ini hatinya menyuruhnya tetap terjaga. Ia enggan tidur sedini ini, matanya belum mengantuk. Ia hanya gelimpungan kesana-kesini. Setelah beberapa kali guling kanan guling kiri, tiba-tiba suara ada suara didapur. Ia ingat, Mak yang terakhir kali kesana. Ia bangun dari dipan menuju pintu dapur.
Diintipnya dari lubang anyaman bambu itu, ia melihat Mak memakai baju hitam, tak biasanya Mak memakai baju seperti itu. Lalu diselempangkannya sarung dileher. Lantas ia beranjak dari dapur menuju pintu. Bibi segera bersembunyi dibalik dinding. Ia ingin tahu apa yang akan dilakukan Mak.
Ia mengikuti Mak keluar dari rumah. Mungkin Mak mau menyusul bapak yang sudah lama tak pulang karena tak ada lauk dirumah, pikirnya. Angin malam menghembus kencang di seluruh tubuhnya. Ia menggigil kedinginan. Kaos oblongnya yang telah robek tak mampu menghangatkanya dari angin-angin dingin itu. Ia masuk lagi kerumah mencari kehangatan. Mengambil jaket lusuh dan keluar lagi mengikuti Mak. Ia berusaha menjaga jaraknya 7 meter dibelakang Mak.
Ia bingung, mau apa malam-malam begini Mak pakai baju hitam dan sarung seperti itu. Ia melihat keatas, bintang-bintang menatapnya tajam. Seolah menyuruhnya untuk berbalik dan menunggu Mak digubug. Tapi hatinya yakin, kali ini ia harus mengikuti Mak, kemanapun. Jauh Maknya berjalan, jalan setapak ini sepertinya pernah dilewati setiap hari hingga rumput-rumput padam.
Bibi melihat disela-sela daun-daun rindang itu ada cahaya dibaliknya. Belum pernah ia melihat cahaya seterang itu, biasanya cahaya dirumahnya keluar dari lilin atau senter korek punya bapak. Tapi ini, wow. Baru kali ini ia melihat cahaya dibalik daun itu begitu terang.
Apakah ini yang disebut Mak sebagai kota? Tanyanya dalam hati.
Dari mana Mak bisa tahu tempat terang meskipun malam hari seperti ini. Ia ingin memanggil Maknya dan mereka bersenang-senang bersama. Tapi ia ingat, kalau ia hanya menguntit Maknya. Dalam cahaya yang tak temaram seperti di gubugnya, ia tak melihat satu orangpun disana. Sepi, mungkin penguninya sedang tidur. Bibi bersembunyi dibalik-balik pohon. Dilihatnya kekanan dan kekiri, banyak rumah-rumah besar disana, rumahnya tinggi dan mempunyai atap-atap yang terbuat dari genting.
Dan jauh dihadapan matanya, sebuah rumah besar dan megah, mungkin seluas tanah kosong dihutan. Cat hasil kombinasi warna Coklat tua dan muda membuatnya berdecak kagum. Jauh sekali bila disanding dengan gubug tua bapaknya.
Anehnya, di malam dingin itu ia melihat Mak masuk kesana. Memanjat pagar. Astaga.
##
“MALIIIINNNGGG”
Setelah sekian lama Bibi duduk dan terkantuk-kantuk didepan gerbang rumah megah itu terdengar teriakan yang membuatnya kembali terjaga. Kini dilihatnya banyak orang dari daerah bercahaya itu. Diawasinya setiap gerik langkah orang-orang yang sedikit lebih besar dari bapaknya. Semakin lama teriakan itu semakin keras semakin banyak orang dewasa yang berkumpul disana. Mereka bahkan ada yang membawa pedang. Ia tahu, itu bukan pedang-pedangan yang biasa ia mainkan dengan Mak.
Mak... ia mulai teringat dimana terakhir ia melihat Maknya dan sekarang ia mulai ketakutan. Keringat dingin membasahi dahinya. Ia sudah rindu bertemu Mak. Langkah-langkah lari dari seseorang diseberang jalan terdengar. Lama-lama suara itu mulai samar karena kalah dengan teriakan-teriakan yang sama dari kerumunan itu.
Malam kembali mengeluarkan napasnya. Suara lari itu kini diikuti suara kaki lain yang sedang berlari pula. Satu... dua... tiga... dan kerumunan itu berhasil mengalahkannya, tapi mereka tak lantas berhenti. Tangan mereka yang kini bekerja, mereka memukul-mukulkan tangan-tangan itu ke orang tadi. Orang berpakaian serba hitam dengan sarung dilehernya...
“Mak!” rintihnya pelan dengan segudang air mata merembes di wajahnya.
##
“... bukti yang menunjukkan sidik jari saudara Jarot atau Habibi Usamah bahwa....”
Masih didengarnya suara Hakim yang sedang membacakan tuduhannya atas kejadian beberapa hari yang lalu. Langkah kakinya yang sudah goyah tak mampu melanjutkan hingga berakhir sudah karirnya sebagai Preman Jarot yang ditakuti pimpinan para preman. Ia diadili.
Diingatnya secara tuntas siluet-siluet pekat itu. Mengingat segala janji yang pernah ia buat untuk membuat tersenyum Maknya. Melukiskan lagi tawa Maknya diatas bintang-bintang. Tapi ia ingkar. Kali ini ia ingkar pada Mak yang telah meninggalkannya. Sebutan durhaka sudah tak berpengaruh ditelinganya. Ia kebal dengan dosa.
“Maafkan aku, Mak. Aku tak bisa membuatmu tersenyum.” Gumamnya pelan. Jarot menitikkan air matanya. Bukan karena vonis yang akan ia terima, tapi ingatannya tentang sosok Mak yang mengajarinya. Mengajarinya mengaji dan menghitung, juga mencuri. Ia belum sempat mengulangi hafalannya. Ha lamalip hamzah dan ya’.
Bahkan nama yang dimilikinya Habibi Usamah tak pantas lagi ia miliki. Jarot nama yang paling tepat untuk penjahat macam dirinya. Puasa yang selalu diceritakan Mak akan menjadi sia-sia kini. Anaknya si Macam yang penuh kasih sayang arti namanya yang sangat indah itu, kini menjadi Macan buas.
Sudah, ia sudah tahu, janjinya takkan mampu ia penuhi, tapi paling tidak, ia sudah membalas dendamnya. Mak dibalas dengan Mak. Mereka sudah kehilangan keluarga mereka, tangannya sendiri yang bekerja. Pembunuhan dirumah megah itu. Ia lakukan dengan komplotannya. Mau apa lagi? Semuanya sudah berakhir, semua sudah terbalaskan. Menyesalpun tak kan mungkin. Dengan siapa dia harus menyesal? Membunuh. Ia membunuh. Bapaknya maling, Mak juga maling dan dia pembunuh.
Bahkan, agama takkan mau mengampuniku, batinnya.
Malang, March 13rd 2011
niema
Komentar
Posting Komentar
Silakan berkomentar disini :)